Sepsis

1.    Pendahuluan

Sepsis, sindroma sepsis maupun syok septik merupakan salah satu penyebab kematian yang mencolok di rumah-rumah sakit. Hal ini disebabkan karena kurangnya kemampuan cara pengobatan yang adekuat, atau ketidakjelasan dasar pengelolaan maupun terapi yang diberikan.

Infeksi pada rongga mulut seperti abses atau selulitis bila tidak ditangani secara adekuat dapat menajdi suatu induksi untuk terjadinya sepsis, dan bahkan terkadang pasien datang sudah dalam keadaan sepsis. Mengingat keadaan sepsis ini akan dengan cepat berubah menjadi keadaan yang lebih berbahaya, maka pengenalan sepsis dii sangat diperlukan. Pada makalah ini akandibahas mengenai tanda-tanda sepsis, syok septik, mekanisme serta penangannya.

Sepsis neonatus, sepsis neonatorum dan septikemia neonatus merupakan istilah yang telah digunakan untuk menggambarkan respon terhadap infeksi pada bayi baru lahir. Ada sedikit kesepakatan pada penggunaan istilah secara tepat, yaitu, apakah harus dibatasi berdasarkan pad infeksi bakteri, biakan darah positif, atau keparahan sakit. Kini, ada pembahasan yang cukup banyak mengenai definisi sepsis yang tepat dalam kepustakaan perawatan kritis. Hal ini merupakan akibat dari ledakan informasi mengenai patogenesis sepsis dan ketersediaannya zat baru untuk terapi potensial, misalnya, antibodi monoklonal terhadap endotoksin dan faktor nekrosis tumor (TNF), yang dapat mengobati sepsis yang mematikan pada binatang percobaan. Untuk mengevaluasi dan memanfaatkan cara terapi baru ini secara tepat, “sepsis” memerlukan definisi yang lebih tepat. Pada orang dewasa, istilah sindrom respons radang sistemik (SIRS) digunakan untuk menggambarkan sindrom klinis yang ditandai oleh 2 atau lebih hal berikut ini: (1) demam atau hipotermia, (2) takikardia, (3) takipnea, dan (4) kelainan sel darah putih (leukosit) atau peningkatan frekuensi bentuk-bentuk imatur. SIRS dapat merupakan akibat dari trauma, syok hemoragik, atau sebab-sebab iskhemia lain, pankreatitis atau jejas imunologis. Bila hal ini merupakan akibat dari infeksi, keadaan ini disebut sepsis. Kriteria ini belum ditegakkan pada bayi dan anak-anak, dan tidak mungkin dapat diterapkan pada bayi baru lahir. Meskipun demikian, konsep sepsis sebagai sindrom yang disebabkan oleh akibat infeksi metabolik dan hemodinamik terasa masuk akal dan penting. Di masa mendatang, definisi sepsis pada bayi baru lahir dan anak akan menjadi lebih tepat. Saat ini, kriteria sepsis neonatorum harus mencakup adanya infeksi pada bayi baru lahir yang menderita penyakit sistemik serius yang tidak ada penjelasan non-infeksi dan patofisiologi abnormalnya. Sakit sistemik serius pada bayi baru lahir (Tabel 98-1) dapat disebabkan oleh asfiksia perinatal, penyakit saluran pernafasan, penyakit jantung, metabolik, neurologis, atau hematologis. Sepsis menempati bagian kecil dari semua infeksi neonatus. Bakteri dan Candida merupakan agen etiologi yang paling sering, namun virus dan kadang-kadang protozoa, dapat juga menyebabkan sepsis. Biakan darah mungkin negatif, menambah kesulitan dalam menegakkan infeksi secara etiologi. Akhirnya, infeksi dengan atau tanpa sepsis dapat muncul secara bersamaan dengan penyakit non-infeksius pada bayi baru lahir, anak, atau orang dewasa.

EPIDEMIOLOGI. Insidensi sepsis neonatorum beragam menurut definisinya, dari 1-4/1000 kelahiran hidup di negara maju dengan fluktuasi yang besar sepanjag waktu dan tempat geografis. Keragaman insidens dari rumah sakit ke rumah sakit lainnya dapat dihubungkan dengan angka prematuritas, perawatan prenatal, pelaksanaan persalinan, dan kondisi lingkungan di ruang perawatan.angka sepsis neonatorum meningkat secara bermakna pada bayi yang berat badan lahir rendah dan bila ada fkator risiko ibu (obstetrik) atu tanda-tanda korioamnionitis, seperti ketuban pecah lama (>18 jam), demam intrapartum ibu (> 37,50), leukositosis ibu (>18.000), pelunakan uterus dan takikardia janin (>180 kali/menit).

Faktor resiko host meliputi jenis kelamin laki-laki, cacazt imun didapat atau kongenital, galaktosemia (Escherichia coli), pemberian besi intramuskuler (E coli), anomali kongenital (saluran kencing, asplenia, myelomeningokel, saluran sinus), amfalitis dan kembar (terutama kembar dua dari janin yang terinfeksi). Prematuritas merupakan faktor risiko baik pada sepsis mulai-awal maupun mulai-akhir.

ETIOLOGI. Bakteri, virus, jamur dan protozoa (jarang) dapat menyebakban sepsis pada neonatus (lihat Tabel 98-1_. Penyebab yang paling sering dari sepsis mulai-awal adalah streptokokus group B (SGB) dan bakteri enterik yang didapat dari saluran kelamin ibu. Sepsis mulai-akhir dapat disebabkan oleh SGB, virus herpes simpleks (HSV), enterovirus dan E.coli K1. pada bayi dengan berat badan lahir sangat rendah, Candida dan stafilokokus koagulasae-negatif (CONS), merupakan patogen yang paling umum pada sepsis mulai-akhir.

PATOGENESIS. Walaupun jarang terjadi, penghiurpan cairan amnion yang terinfeksi dapat menyebabkan pneumonia dan sepsis dalam rahim, ditandai dengan sdistres janin atau asfiksia neonatus. Pemaparan terhadap patogen saat persalinan dan dalam ruang perawatan atau di masyarakat merupakan mekanisme infeksi setelah lahir.

Manifestasi fisiologi respons terhadap peradangan ditengahi oleh berbagai sitokin proradang, terutama TNF, interleukin-1 (IL-1), dan IL-6) dan oleh hasil samping aktivasi sistem komplemen dan koagulasi. Walaupun penelitian pada bayi baru lahir terbatas, namun nampak bahwa produksi beberapa sitokin dapat menurun, yang konsisten dengan terganggunya respons radang. Namun peningkatan kadar IL-6, TNF, dan faktor pengaktif trombosit telah dilaporkan pada bayi baru lahir yang menderita sepsis neonatorum dan enterokolitis nekrotikans (NEC). IL-6 nampaknya merupakan sitokin yang paling sering meningkat pada sepsis neontorum.

MANIFESTASI KLINIS. Pada bayi baru lahir, infeksi harus dipertimbangkan pada diagnosis banding tanda-tanda fisik. Semua ini mungkin mempunyai penjelasan noninfeksi. Bila banyak sistem terlibat atau bila tanda-tanda kardiorespirasi menunjukkan sakit berat, maka sepsis harus dipikirkan. Sepsis dapat ditandai oleh tanda-tanda yng terdapat pada Tabel 95-1. tanda awal mungkin terbatas pada hanya satu sistem, seperti apnea, takipnea dengan retraksi, atau takikardia, namun pemeriksaan laboratorium dan klinis secara menyeluruh biasanya akan mengungkapkan kelainan lainnya (lihat Tabel 95-2). Bayi yang tersangka sepsis seharusnya diperiksa untuk mengetahui penyakit sistem multiorgan. Asidosis metabolik sering terjadi. Hipoksemia dan retensi karbondioksida dapat dikaitkan dengan sindrom disters pernapasan kongenital dan dewasa (RDS) atau penumonia.

Banyak bayi baru lahir yang terinfeksi tidak memiliki kelainan fisiologi sistemik yang serius. Banyak bayi dengan pneumonia dan bayi dengan NEC stadium II tidak menderita sepsis. Sebaliknya, NEC stadium III biasanya disertai oleh gejala sistemik sepsis, dan infeksi saluran kencing (UTI) akibat uropati obstruktif, dapat mempunyai kelainan hematologis dan hepatis yang serupa dengan sepsis. Setiap bayi harus dievaluasi kembali sepanjang waktu untuk menentukan apakah perubahan fisiologis akibat infeksi telah mencapai tingkat sedang hingga berat yang konsisten dengan sepsis.

Manifestasi akhir sepsis meliputi tanda-tanda edema serebral dan/atau trombosis, gagal napas sebagai akibat sindrom disters respirasi didapat (ARDS), hipertensi pulmonal, gagal jantung, gagal ginjal, penyakit hepatoseluler dengan hiperbilirubinemia dan peningkatan enzim, waktu protrombin (prothrombin time [PT} dan waktu tromboplastin parsial (partial thromboplastin time [PTT] yang memanjang, syok septik, perdarahan adrenal disertai insufisiensi adrenal, kegagalan sumsum tulang (trombositopenia, netropenia, anemia), dan koagulasi intravaskular diseminata (diseminated intravascular coagulation [DIC]).

DIAGNOSIS. Adanya infeksi merupakan kriteria diagnosis pertama yang harus ditemukan. Adalah penting untuk dicatat bahwa bayi dengan sepsis bakteri dapat memiliki biakan darah negatif, sehingga pendekatan lain untuk identifikasi harus diambil. Uji untuk menunjukkan respons radang meliputi laju endap darha, protein C-reaktif, haptoglobin, fibrinogen, pewarna tetrazolium nitroblue, dan fosfatase alkali leukosit. Pada umumnya, uji ini memiliki sensitivitas yang terbatas dan tidak membantu. Hanya angka hitung darah lengkap serta hitung jenis dan rasio neutrofil imatur terhadap neutrofil total yang dapat memberikan informasi prediktif segera dibandingkan dengan standar umur. Neutropenia lebih sering terjadi daripada neutrofilia pada sepsis neonatorum berat, namun neutropenia ini dapat juga terjadi berkaitan dengan hipertensi ibu, sensitisasi neonatus, perdarahan periventrikular, kejang-kejang, pembedahan, dan mungkin hemolisis. Bila rasio neutrofil imatur dibanding neutrofil total 0,16 atau lebih besar, hal ini menunjukkan adanya infeksi bakteri.

Kriteria besarnya perubahan fisiologi pada bayi baru lahir dengan sepsis kini belum ditentukan, namun harus sesuai dengan pengaruh sitemik mediator endogen pada satu atau lebih sistem organ. Misalnya, pengaruh sepsis pneumonia pada fungsi respirasi harus melampaui kerusakan lokal pada paru-paru. Dengan demikian, untuk menentukan sepsis harus dilakukan pemeriksan laboratorium.

PENGOBATAN. Pengobatan sepsis neonatorum dapat dibagi menjadi terapi entimikrobia pada patogen yang dicurigai atu yang telah diketahui dan perawatan pendukung. Cairan, elektrolit, dan glukosa harus dipantau dengan teliti, disertai dengan perbaikan hipovolemia, hiponatremia, hipokalsemia, dan hipoglikemia serta pembatasan cairan jika sekresi hormon antidiuretiktidak memadai. Syok, hipoksia, dan asidosis metabolik harus dideteksi dan dikelola dengan pemberian agen inotropik, resusitasi cairan, dan ventilasi mekanik. Oksigenasi jaringan yang cukup harus dipertahankan karena dukungan ventilasi seringkali diperlukan untuk gagal napas yang disebabkan oleh pneumonia kongenital, sirkulasi janin menetap, atau RDS dewasa (syok paru-paru). Hipoksia refrakter dan syok memerlukan oksigenasi membran ekstrakorporeal, yang telah menurunkan angka mortalitas pada bayi cukup bulan dengan syok sepsis dan sirkulasi janin persisten. Hiperbilirubinemia harus dipantau dan ditangani dengan tranfusi tukar karena risiko kern ikterik meningkat oleh adanya sepsis dan meningitis. Nutrisi parenteral harus dipertimbangkan pada bayi yang tidak dapat makan secara enteral.

2.    Diagnos Keperawatan
  • Gangguan keseimbangan suhu tubuh sehubungan dengan infeksi.
  • Gangguan keseimbangan cairan dalam tubuh.
  • Gangguan pemenuhan O2 sehubungan adanya perfusi jaringan.
3.    Implementasi
  • Menghilangkan / mereduksi kuman penyebab infeksi dengan cara pemberian antibiotik yang adekuat, diperlukan walaupun belum ada hasil mikrobiologi mengingat sepsis merupakan infeksi dengan resiko bahaya kematian bagi penderita cukup tinggi.
  • Melakukan drainase adekuat, eksisi jaringan nekrosis, pengeluaran benda asing dan tindakan bedah lainnya untuk menghilangkan sumber infeksi.
  • Pemberian Kortikosteroid
4.    Perencanaan

a.    Mengembalikan perubahan hemodinamik yang terjadi dan mengembalikan agar perfusi jaringan berlangsung baik, dengan cara pemberian cairan, pemberian cairan ini berdasarkan pada perubahan fisiologis yang terjadi pada penderita dehidrasi akibat diare, yaitu : 10 – 20 ml / kk BB dalam 20 menit.

b.    Mempertahankan dan memulihkan fungsi organ tubuh yang terganggu :
  • Memperbaiki jalan nafas : oksigenasi cukup, jalan nafas harus baik (bebas obstruksi).
  • Pemberian cairan yang adekuat : guna mempertahankan volume darah, hal ini diperlukan untuk mengembalikan fungsi homeostasis.
  • Perawatan intensif pasca bedah yang baik.
  • Evaluasi pasca bedah untuk mengetahui sumbre infeksi lain yang tidak terdrainase sehingga memerlukan pembedahan kedua.

No comments:

Post a Comment